Apr 16, 2011
Hidup adalah Ber-Karma
Mengutip dari buku agama ketika SMP dulu tentang Panca Sradha, dimana salah satu bagiannya menceritakan tetang filosofi Karma dalam Hindu..Desinisi karma secara singkat di jelaskan sebagai berikut : Hukum Karma hanya menetapkan hubungan sebab dan akibat, perbuatan dan hasil. Ibarat kita menanam pohon. Pahit atau manis buah yang kita petik tergantung dari pohon yang kita tanam. Itulah mengapa, bagaiman karma kita yang menentukan seperti apa nasib kita nantinya..bersyukur juga saya menjadi Hindu, yang tidak di doktrin dengan adanya TAKDIR, yang hanya akan membuat saya menjadi begitu pasrah dengan kuasa TUHAN. Namun yang menarik dari penjabaran tentang karma tersebut, ketika membahas mengenai Jarak waktu yg berlaku dalam karma seperti berikut :
Berdasarkan jarak waktu antara perbuatan dilakukan dan hasilnya diterima, terdapat tiga jenis Hukum Karma :
1. Perbuatan yang hasilnya langsung diterima dalam kehidupan kita sekarang disebut Prarabda.
2. Perbuatan dalam hidup kita sekarang yang hasilnya kita terima dalah hidup atau kelahiran yang akan datang disebut Sanchita.
3. Perbuatan yang kita lakukan dalam hidup kita terdahulu yang hasilnya baru kita terima sekarang disebut Kriyamana.
Ternyata kewajiban kita berkarma tidak hanya untuk saat ini saja, tetapi juga sampai pada keturunan kita nantinya..atau kita masih memiliki kaitan yang kuat terhadap karma dari orang tua kita..Benar jika Ibu saya selalu memberi nasihat bahwa : "Jika ingin menghasilkan kue yang baik, buatlah dari bahan-bahan yang berkualitas serta cetakan yang bagus dan tentu saja di sertai dengan pengetahuan yg baik". Maksudnya adalah : Jika ingin menghasilkan keturunan-keturunan yang berkualitas dan baik, maka sepatutnya di lahirkan dari orang tua yang berkualitas dan baik pula...Ibu saya pun selalu mengingatkan, "Ibu selalu berusaha membangun rumah tangga dan keluarga dengan karma yang baik, dng harapan ibu pun akan menanamkan phala(hasil) yang baik kepada seluruh keturunan ibu"..Baru ku pahami bahwa : tugas Orang tua adalah membangun Jalan yg baik utk keturunannya, apakah jalan tersebut akan dilalui atau tidak semua adalah kembali kepada karma anak-anaknya nanti...
Senang rasanya, secara perlahan mampu memahami semua ini, tidak salah ternyata jika selama ini keyakinan yang saya miliki sebagai seorang Perempuan Bali yang beragama Hindu, selalu ingin belajar dan bersekolah sampai saya mati..Dengan harapan, agar anak-anak ku nanti menjadi manusia Hindu yang cerdas dan mampu menentukan karmanya dengan penuh tanggung jawab..Awignamastu...
Karena Karma juga mengajarkan bahwa keyakinan kita yang akan membentuk karma kita jika kita lakukan itu secara sadar...Hhhmmm..Hidup adalah Ber-Karma..mau seperti apa karma kita, semua pilihan ada di tangan kita masing-masing...mari ber-karma teman-teman Hinduku...
Om Santi Santi Santi Om...
Salam;
"Geg Yuke"
Mar 31, 2011
“Belajar dari falsafah RODA”
Secara History, Roda memang melewati begitu banyak proses, sehingga mencapai bentuknya yang benar-benar BULAT dan disepakati oleh jutaan umat di dunia..Dan saya pribadi pun menyukai bentuk terbaiknya saat ini, yaitu BULAT tanpa sudut sedikitpun. Setidaknya, dengan bentuk terbaiknya tersebut, akan memudahkan geraknya untuk menuntaskan kewajibannya melalui jarak yg harus di tempuh karena tidak ada sudut yang akan membatasi fleksibilitas fungsinya…
Melihat perputaran Roda, mengingatkan saya seperti perputaran waktu yang harus saya lalui dalam setiap Karma yang saya lakukan..Apalagi Ibu saya selalu berpesan : Hidup adalah Ber-Karma dan Karma manusia akan terus berjalan. Melihat Roda yang selalu berputar pula, saya seperti belajar tentang Perubahan, Kekuatan, Konsistensi serta Ketekunan..Mungkin masih banyak lagi yang mampu di pelajari, namun karena saya menyakini bahwa hidup adalah proses pembelajaran, maka saya pun yakin, suatu saat nanti akan mampu mempelajari tentang falsafah Roda jauh lebih banyak lagi..
Berangkat pemahaman yang dihasilkan oleh alam berfikir, ada harapan yang menyertai setiap hasil pemikiran tersebut yaitu “ Semoga mampu semakin mendewasakan saya..”. Hal pertama yang ingin saya lihat dari Roda yaitu :
- Perubahan : Saya sangat mengagungkan makna Perubahan. Ada sebuah buku yang selesai saya baca, tentang Metodologi Komunikasi, dalam buku tersebut saya di ingatkan tentang keabadian dari perubahan, bahwa tidak ada yang hakiki selain berubahan tersebut. Yang pada akhirnya, saya pun bisa belajar dari sebuah Roda yang terlihat. Roda mengajarkan saya tentang Nilai Perubahan, yang diperjelas dari sebuah pepatah : Roda itu berputar, kadang di atas kadang di bawah. Begitulah kehidupan, ketika hari ini kita sedih, maka kita diingatkan oleh makna perubahan, bahwa masih ada pilihan lainnya yg dapat dipilih yaitu kesenangan..sama halnya ketika kali ini kita Jatuh, maka perubahan mengingatkan kita untuk bangkit dan berdiri sebagai pilihan yang berbeda. Bukan hanya itu Saja, Roda juga mengajarkan kita tentang nilai perubahan lainnya, dimana saat Roda berputar meng-fungsikan dirinya, maka ada pergerakan yang dialaminya membuat sang Roda harus berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dari satu titik ke titik lainnya, dari satu fase ke fase lainnya, dari satu moment ke moment lainnya, dan begitu pulalah hidup, yang selalu bergerak untuk menciptakan dan memaknai hakikat perubahan.
- Kekuatan : Saya belajar banyak tentang Kekuatan dari Roda. Dia memiliki fleksibilitas yang sangat tinggi terhadap medan apapun. Dengan bentuk Terbaik yang dimilikinya, dia selalu melakukan yang terbaik untuk si pemberi tenaga. Roda selalu bertahan dalam fungsinya, tanpa pernah ia berfikir untuk sesekali berada di atas untuk menaikkan pangkat ataupun derajatnya. Karena Roda selalu di Bawah, selalu melayani, dan selalu memberikan yang terbaik kepada siapapun. Dengan Kekuatan melayani serta berarti untuk orang lain, Roda telah mampu menaikan derajat kehidupannya sendiri..Itulah hakikat hidup yang saya yakini, Kekuatan diri bukan terletak dari identitas yang kita miliki, tetapi bagaimana kita mampu melakukan dan memberikan yang terbaik yang kita miliki terhadap si pemberi kehidupan.
- Konsistensi : Roda Mengajarkan Nilai Konsistensi..Saya mencoba untuk belajar dari Roda, ketika Ia harus menyelesaikan perjalanan yang Ia tempuh..Roda, begitu konsisten dengan tugas, kewajiban, wewenang serta kapasitasnya sebagai Roda. Roda hanya berhenti jika si pemberi tenaga menginginkannya dan Roda pun berusaha untuk menyelesaikan tugasnya, disaat Ia kepanasan, kedinginan bahkan dlm kondisi yang tidak memungkinkan sekalipun. Roda hanya berfikir, bahwa Ia harus menyelesaikan apa yang menjadi tugasnya..Roda begitu konsisten dengan semua kewajiban yang menyertai segala Identitas yang dimiliki sang Roda.
- Ketekunan : Tentu, saya bisa melihat nilai ketekunan dari Sang Roda. Kekerasan niat yg tinggi untuk mengabdi kepada si pemberi Tenaga serta Kesungguhannya untuk selalu memberikan yang terbaik adalah referensi ketekunan dari sang Roda. Seberat apapun beban yang harus di embannya, Roda selalu meyakini hatinya bahwa Ia akan bisa menyelesaikan kewajiban ini, bahwa Ia akan bisa menyelesaikan jarak yang harus di tempuhnya..Demikian pula dengan kesungguhannya, selalu berusaha melakukan yg terbaik dalam kondisi apapun, di medan apapun, dalam kondisi dan suasana apapun selalu tidak pernah memudarkan niat kesungguhannya untuk selalu memberikan yang terbaik kepada si pemberi tenaga…
Semoga kita bisa belajar lebih banyak lagi dari sang Roda. Mohon maaf jika dalam tulisan ini saya menggunakan kata Sang utk mengawali kata Roda. Karena saya selalu menganggap Roda hidup di hati saya, sehingga saya bisa belajar lebih banyak lagi darinya..Terima kasih..mohon kritikannya…J
Jan 22, 2009
Arti Sebuah Kesederhanaan
Berawal dari sebuah pertemuan didalam kelas ketika masing menyandang status Mahasiswi di sebuah universitas swasta di Jakarta. Hal menarik pada saat itu ketika mendapatkan materi perkuliahan dari seorang dosen yang tampak sangat sederhana. Bahkan materi yang disampaikannya pun dikemas dengan gaya kesederhanaannya. Padahal materi tersebut adalah salah satu materi pokok dari jurusan yang dipilih. Namun entah karena pikiran kami yang sudah underestimate dengan dosen tersebut ataukah karena kemasannya yang sangat sederhana maka materi tersebut tidak satupun melekat di benak kami pada saat itu.
Berawal dari sebuah pembicaraan yang dilakukan dengan berbisik – bisik ria tepat di barisan paling belakang, pembicaraan tersebut seputar kesederhanaan dari sang dosen sampai pada kualitas mengajarnya. Sampai juga pertanyaan kami pada tingkat pola pikir kami, dimana setiap pertanyaan yang kami ajukan tidak pernah dijawab oleh sang dosen. Apakah karena tidak mampu menjawab ataukah karena metode mengajarnya yang memang seperti itu. Kami hanya tertawa kecil jika pertanyaan kami tak kunjung mendapat jawabannya..
Seiring berjalannya waktu pertemuan demi pertemuan pun kami lewati dengan segudang pertanyaan yang entah dengan cara apa kami harus mencari jawabannya. Pada akhirnya pun kuliah usai dan hanya pertanyaan tersebut yang tersisa tanpa adanya jawaban maupun secercah harapan materi yang akan kami gunakan sebagai bekal untuk menyelesaikan perkuliahan kami nantinya.
Hanya asa yang tersisa yang pada akhirnya kami harus mencari sendiri jawaban dari semua pertanyaan yang kami miliki. Menarik juga, karena sampai pada akhir perkuliahan pada saat dihadapkan oleh tugas akhir yang pada akhirnya menghantarkan kami semua pada sebuah kelulusan. Tanpa sengaja melalui diskusi yang panjang dengan seorang dosen yang berlanjut pada sebuah jamuan makan malam yang cukup unik. Melalui sebuah diskusi yang panjang tersebut sampailah pada pembicaraan seorang dosen awal kami yang dulu mengajarkan materi yang paling penting selama perkuliahan kami. Tanpa diketahui, dibalik kesederhanaannya kami mengetahui begitu banyaknya nilai kemapanan yang telah dimiliki oleh sang dosen. Walaupun bergelimang kemapanan namun sang dosen tetap menggunakan kendaraan umum yang dari sudut pandang kami sangat sulit dimengerti dengan gaya hidupnya. Pada dasarnya, untuk dunia metropolitan seperti Jakarta, kemapanan khususnya materi adalah sesuatu yang sangat diidam – idamkan oleh semua manusia yang berjuang dalam sebuah persaingan yang ketat. Bahkan tidak sedikit dari mereka mampu melakukan segala cara hanya untuk sebuah titik kemapanan secara materi. Tidak dapat dipungkiri, Jakarta telah mampu mencetak begitu banyak manusia – manusia meterialistis.
Terutama untuk seorang laki – laki atau dengan predikat kepala keluarga yang diembannya, pada saat sudah mencapai titik kemapanan secara materi tersebut adalah suatu kebanggaan bagi keluarganya bahkan sampai tingkat sosialisasinya. Namun kelaziman yang terjadi tidak berlaku bagi serang dosen yang penuh dengan kesederhanaan ini. Ia memiliki cara yang unik untuk menikmati hidupnya. Sampai pada suatu malam ketika diskusi yang panjang dengan seorang sahabat disebuah kafe di Jakarta, kami hanya mampu tertawa tanpa pernah mampu mengerti pola pikir dan cara hidup sang dosen. Yang pada akhirnya diskusi kami sampai pada titik relativitas yang ditawarkan oleh para filsuf kita, dimana menjalankan dan menikmati hidup adalah penuh dengan pilihan yang ditawarkan. Hanya diri kita masing – masing yang mampu memilih karena semuanya kembali pada titik relatifitas tersebut. Namun pertanyaannya bagaimana kita mampu mempertahankan pilihan tersebut di tengah derasnya kelaziman yang dilakukan oleh kebanyakan orang diluar sana? Mungkin jawabannya adalah idealisme, prinsip, konsinten, atau virus Duo Maia yaitu EGP ( Emang Gue Pikirin...)
ARTI SEBUAH KEYAKINAN
Pernahkah kita berfikir mengenai sebuah keyakinan?sebuah keyakinan yang bukan dalam konteks agama. Tanpa pernah disadari, akhir – akhir ini, terlalu sering saya melibatkan kata ini dalam kehidupan pribadi saya. Keyakinan dengan kata dasar YAKIN, memiliki makna yang sangat besar dalam kehidupan kita. Bahkan jika kita benar – benar meyakininya, kata ini tidak hanya akan mampu merubah dirimu maupun merubah pola berfikirmu tetapi ia juga mampu merubah Hidupmu.
Sampai pada suatu titik, dimana keyakinan tidak hanya dirasakan untuk segala konteks yang berhubungan dengan agama, namun sudah meningkat pada kehidupan sosial yang kini diemban bahkan keyakinan sudah mampu merambah pada kehidupan kita yang paling pribadi sekalipun. Sampai suatu titik ada keyakinan yang begitu melekat manis dalam relung hati yang paling dalam. Dimana sampai pada sebuah pemahaman diri yang menyatakan bahwa, sebuah keyakinan ternyata tidak membutuhkan alasan apapun untuk mengiringinya. Keyakinan hanya meminta untuk diletakkan secara paten dalam Jiwa, Diri dan kehidupan kita masing – masing.
Hal yang patut diingat, bahwa sebuah keyakinan tidak akan pernah berubah, ia selalu berada dalam fungsinya. Namun yang berubah hanyalah fenomena yang selalu mengiringi dari keyakinan tersebut. Pada saat sang fenomena tergantikan oleh fenomena yang baru menurut sang filsuf kita mengenal dengan nama Anomali, maka keyakinan pun akan setia menemani dalam koridor dan forsi yang disesuaikan dengan kebutuhan dari sang pemilik diri dan jiwa. Sejauh mana kita mampu menempatkan keyakinan dalam diri kita masing – masing ? jawabannya ada dalam diri kita masing – masing.
" MENIKAH "
MENIKAH
Aku Menikah Denganmu
Bukan untuk kebahagiaan sesaat
Aku bersedia berjalan denganmu
Bukan untuk tertawa yang berderai
Aku menggenggam tanganmu
Bukan untuk senyum yang terlukis
Aku menikah denganmu
Demi hari – hari kita kedepan
Yang akan kita tempuh bersama
Demi marah yang aku teriakkan
Demi sakit yang akan kita bicarakan
Demi salah yang akan kita maafkan
Demi khilaf yang tak akan terulang
Aku menikah denganmu karena aku akan menyelam,
Terjun, Terpuruk, Terjatuh, Tergores, Terobati, atau apapun bersamamu....
Tetapi diatas semua itu
Aku menikah denganmu karena,
AKU MENCINTAIMU....
WITH LOVE
“ GEG’ YUKE “
“ RELATIVITAS NILAI SEBUAH PEMBENARAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN HINDU BALI ”
Banyak orang berfikir, pada saat kita memiliki suatu identitas pribadi adalah suatu kebanggaan, termasuk identitas budaya ( cultur ) yang sudah melekat dan menjadi identitas permanen sejak kita lahir. Namun pada dasarnya banyak yang tidak mengerti bahkan menjelaskan mengenai segala identitas yang melekat tersebut. Hal menarik pada saat diberikan kesempatan untuk mengikuti acara melaspas pure yang umumnya dilakukan oleh para umat Hindu dari etnik Bali. Banyak sekali sarana pendukung yang harus disiapkan untuk menunjang acara melaspas pure tersebut. Untuk umat Hindu yang berasal dari etnik Bali mungkin hal tersebut adalah suatu hal yang lazim dilakukan, namun pertanyaan besar yang muncul adalah makna yang harus dipahami oleh umat Hindu dari etnik Bali mengenai acara tersebut.
Berawal dari penantian yang panjang mengenai kehadiran seorang Pedanda dalam upacara tersebut, yang berujung pada kehadiran dari Pedanda tersebut dimana entah kebetulan atau menjadi suatu lisensi mengenai keabsahan dari acara tersebut. Begitu agungnya pada saat beberapa orang – orang yang dituakan dalam upacara tersebut melakukan ritual penyambutan untuk seorang Pedanda tersebut. Yang menarik adalah memperlakukan seorang Pedanda dalam penglihatan sederhana untuk orang yang awam hampir mirip dengan memperlakukan seorang Raja dalam sebuah kerajaannya. Dengan posisi duduk yang jauh sekali lebih tinggi dari umat yang lainnya, dengan sarana dan prasarana yang serba baru ( sukla ). Bahkan bukan hanya posisi duduk yang mampu membatasi antara umat biasa dan sang pemimpin upacara, namun komunikasi yang terjalin pun hanya dilakukan oleh para orang – orang yang dituakan dalam upacara tersebut.
Pada saat segala sarana dan prasarana pendukung sang Pedanda sudah siap maka upacara pun siap dilaksanakan. Segala ritual dalam setiap tahapan yang harus dilalui semuanya harus menunggu petunjuk sang Pedanda. Seperti kebudayaan yang terpusat ( Cultur Center ) dimana segala ritual harus menunggu petunjuk dari sang Pedanda, sehingga nilai pembenaran pun akan menjadi sangat relative karena akan menjadi sangat berbeda jika kita dihadapkan oleh seorang Pedanda yang berbeda walaupun dalam sebuah acara keagamaan yang sama.
Hal menarik lagi pada saat pelaksaan ritual yang didominasi oleh kaum perempuan, walaupun diketahuai ada pembagian tugas dan wewenang yang jelas dalam sebuah ritual keagamaan yang dilakukan oleh umat Hindu etnik Bali, namun entah mengapa selama prosesi tersebut tugas dan wewenang justru didominasi oleh kaum perempuan. Dalam pelaksanaan perintah maupun instruksi dari sang Pedanda, para kaum perempuan tersebut justru sibuk bernegosiasi untuk mencari pembenaran maupun kelaziman yang harus dilakukan. Sehingga terkesan bahwa ritual keagamaan tersebut berangkan dari sebuah ritual kebiasaan yang lazim dilakukan bukan berangkat dari sebuah pemahaman sehingga menjadi sebuah ritual yang benar – benar mereka pahami dan mampu mereka jelaskan.
Pada saat ritual acara berlangsung, sempat ada pertanyaan yang terdengar, mengertikah para kaum perempuan tersebut terhadap apa dilakukan ataupun terhadap instruksi dari sang pedanda? Dengan kesederhanaannya mereka menjawab dalam bahasa daerah Bali “ Nak Mulo Keto “ ( Yah, memang sudah begitu ), suatu jawaban yang sangat fantastis. Sebuah ritual agama yang dilakukan hanya berdasarkan sebuah kebiasaan tanpa ada makna yang harus dipahami. Dalam acara tersebut pun, ada banyak sekali umat yang terlibat, minimal mereka datang untuk melakukan Trisandya, sebagai puncak dari acara tersebut tanpa ada rasa keingin tahuan sedikitpun mengenai serangkaian acara tersebut. Pantaskah jika kita mulai berfikir mengenai fase pembodohan atau lebih ekstrim lagi kita menyatakan sebagai era penjajahan yang telah di lakukan oleh sang Pedanda. Mengapa demikian? Bahwa salah satu kewajiban seorang pemimpin agama adalah bukan hanya untuk memimpin sebuah ritual keagamaan namun juga dituntut harus mampu menginterpretasikan segala ritual keagamaan yang telah dilakukannya, sehingga ilmu agama pun akan terus berkembang dalam setiap umatnya. Bukan hanya itu, interpretasi yang dilakukan oleh sang pemimpin agama dalam hal ini adalah sang Pedanda, diharapkan mampu menjalin komunikasi yang baik antara sang pemimpin upacara keagamaan dengan para umat yang terlibat, karena kita semua percaya bahwa dimata TUHAN kita semua SAMA, tanpa ada pembedaan sedikit pun...
Jan 21, 2009
TRADISI Vs PERILAKU ( Titik awal sebuah Karakteristik )
( Titik awal sebuah Karakteristik )
Hal menarik pada saat melakukan sebuah penelitian tesis, dimana dalam penelitian tersebut menekankan pada Komunikasi Politik Politisi Etnis Bali di DPD PDI Perjuangan Provinsi Lampung. Sebagai salah asumsi kuat yang melatarbelakangi masalah dalam penelitian tersebut adalah adanya keengganan politisis etnis Bali untuk muncul atau menonjol, pertanyaan besar pun muncul pada saat itu, hal tersebut merupakan sebuah tradisi atau perilaku subjektif etnis Bali khususnya politisi laki – laki. Dalam observasi selanjutnya mengamati bukan hanya menjadi perilaku subjektif tetapi sudah menjadi perilaku kolektif, karena jika dilihat dari jumlah etnis Bali yang ada di Lampung dengan jumlah politisi yang terdengar dalam kancah politik di tingkat provinsi sangat menghawatirkan..
Fenomena selanjutnya adalah sebuat kondisi pribadi pada saat menghadapi sebuah sidang Tesis, dimana sang penguji yang bukan berasal etnis Bali bertanya apakah politisi etnis Bali tersebut bersifat individualis atau kekerabatannya tinggi, suatu pertanyaan yang tidak mungkin dijawab hanya dengan iya atau tidak bahkan dengan memilih salah satunya dari kedua alternatif tersebut pun tidak akan mampu menjawab pertanyaan dari sang penguji. Karena dalam penelitian kualitatif yang melatarbelakangi Tesis tersebut sangat tidak dianjurkan untuk men-generalisasi data yang dimiliki, jawaban yang terlontar pun tergantung dari konteks mana kita melihat, jika dalam penelitian tesis ini, ada kecendrungan bahwa politisi etnis Bali yang ada di DPD PDI Perjuangan Lampung cenderung individualis. Sang Penguji pun spontan mengernyitkan dahi, dan menekankan sekali lagi anda yakin dengan jawaban anda? saya pun menjawab iya saya yakin, itu yang saya temukan di lapangan pada saat saya melakukan penalitian secara langsung.
Namun ada sebuah pertanyaaan dari sang penguji tidak hanya untuk mengukuhkan argumennya bahkan dengan lantang dan jelas sang penguji menyatakan bahwa “ kamu tau tidak, kalau menurut SAYA laki – laki Bali itu pemalas dan perempuannya yang gigih dan pekerja keras..” Pada saat itu sempat terlintas dalam alam fikir yaitu sebuah ujian mental pada saat sidang Tesis, tetapi ternyata hal tersebut justru di sambut dukungan yang menarik dari sang peneliti, hal yang mengagetkan bagi sang penguji karena dia berfikir sang peneliti akan tersinggung dengan pernyataannnya karena sang penguji sangat mengetahui bahwa sang peneliti berasal dari etnis Bali, tetapi ternyata tidak.
Fenomena yang menarik pula pada saat berada dalam sebuah acara 3 Bulanan atau dalam kebudayaan Bali lazim disebut dengan Ngetelunin. Seorang anak laki – laki, yang pada saat itu tepat berumur 3 Bulan Nasional atau 3,5 bulan hitungan kalender Bali, mengapa berbeda karena dalam hitungan Budaya Bali, 1 bulan adalah 35 hari bukan 30 hari. Dalam kemeriahan acara tersebut, ada yang menarik untuk disikapi yaitu suatu aktifitas yang lazim dilakukan oleh para sekelompok laki – laki Bali, bahkan disaat hari raya keagaamaan pun mereka sempat melakukannya. Mengapa disebut sekelompok, karena aktifitas tersebut tidak bisa dilakukan sendiri, harus melibatkan beberapa orang. Awalnya sempat terfikirkan bahwa itu hanya sebuah realitas yang biasa dilakukan, dengan tujuan untuk meramaikan suatu acara ataupun mengisi waktu luang semata, namun semakin terlalu seringnya melihat dan mengamati hal yang sama, pada akhirnya memunculkan pertanyaan yang besar apakah JUDI lazim dilakukan dalam sebuah upacara agama ataupun upacara – uparaca sakral lainnya?? Kembali saya berfikir mengenai sebuah konsep tradisi ataukah perilaku saja…
Selanjutnya dalam diskusi yang panjang dengan seorang teman mengenai label pemalas yang diemban oleh para laki – laki etnik Bali. Hal menarik pada sang teman bercerita, bahwa ia pernah berdebat dengan seorang Turis Amerika yang mengatakan bahwa laki – laki Bali itu pemalas hanya pada saat itu ia melihat sekelompok laki – laki Bali yang sedang melalukan aktifitasnya dengan main Ceki ( berjudi ) serta Metajen ( adu ayam ). Sang Turis pun sibuk dengan predikat Malas, Bodoh, dan lain sebagainya. Pada dasarnya pertanyaan sederhana pun kembali muncul dalam benak saya, apakah benar laki – laki Bali itu pemalas?? Apakah hanya karena perempuan Bali itu lebih aktif dalam rumah tangganya sehingga dapat dikatakan laki – laki Bali itu pemalas?? Karena aktifnya para perempuan Bali dalam rumah tangganya sehingga terkesan mendominasi, apakah hal tersebut juga mampu menjadikan sebuah pendapat bahwa laki – laki Bali itu pemalas??
Hal menarik pada saat melewati malam yang panjang di sebiah Kafe dengan seorang sahabat, dan sang sahabat pun memberikan wacananya mengenai konsep pemalas yang di berikan pada laki - laki Bali, dimana ada dua persepsi yang berbeda yang muncul dari pernyataan yang sederhana tersebut, yaitu :
Pertama, generalisasi prilaku dalam cultur tertentu maupun dalam negara tertentu adalah suatu sikap yang sangat sering kita lakukan. Kita sudah memiliki persepsi yang lazim mengenai sosok laki – laki yang rajin dan bertanggung jawab terhadap keluarganya. Pada saat seorang Turis Eropa yang sedang melancong ke Bali dan dengan lantangnya mengatakan bahwa laki – laki Bali adalah pemalas, bodoh, dll. Bisa jadi si Bule membawa konsep tanggung jawab seorang laki – laki yang ada di kepalanya yang lazim ditemukan di negaranya, dia gunakan untuk menganalisa prilaku laki – laki Bali. Tidak dapat di pungkiri di Eropa seorang laki – laki umumnya lebih aktif dari seorang perempuan sehingga tampak jelas sebuah konsep rajin dan tanggung jawab yang di sodorkan oleh para Turis Eropa tersebut.
Kedua, Kharakteristik Cultur Bali. Menyikapi hal ini, saya mencoba menawarkan sebuah wacana dimana pada dasarnya dalam rumah tangga maupun dalam dunia sosialnya, secara turun – temurun tugas dan kewajiban seorang laki – laki dan seorang perempuan Bali sudah diatur jelas dalam tradisi maupun dalam kebiasaan yang mereka lakukan. Umumnya perempuan melakukan lebih banyak hal di bandingkan laki – laki Bali, sehingga terkesan perempuan Bali lebih aktif dan lebih mendominasi. Yang menarik ada sebagian laki – laki Bali pada saat ditanya mengenai hal tersebut mereka mengatakan bahwa pada umumnya laki – laki Bali melakukan 1 Hal besar dalam kesehariannya ketika tugas tersebut telah usai maka mereka memiliki hak untuk menikmati hidup mereka dengan caranya sendiri, namun berbeda dengan perempuan Bali yang melakukan 5 hal kecil dalam hidupnya sehingga terkesan perempuan tersebut lebih sibuk dari laki – laki. Hanya pertanyaan pun muncul dalam benak saya siapa yang mengkategorikan tugas dan kewajiban tersebut dalam hal besar maupun hal kecil? seperti apa kewajiban maupun tugas rumah tangga yang masuk dalam hal besar dan hal kecil tersebut?? Namun yang menarik diatas semua itu adalah kita sudah harus mulai berfikir mengenai karakteristik cultur Bali, dimana laki – laki Bali pada umumnya tipe manusia yang sangat menikmati hidupnya dengan Enjoy, mereka menikmatinya dengan cara yang unik yaitu main Ceki ( berjudi ) dan Metajen ( ngadu ayam ) suatu prilaku atau tradisi yang mungkin tidak pernah kita temukan di daerah lainnya di Indonesia. Konsep karakteristik inipun muncul dalam benak saya mengenai sebuah keseimbangan dalam hidup berumah tangga, pada saat TUHAN memberikan seorang laki – laki yang selalu Enjoy menikmati hidupnya maka IA memberikan seorang perempuan yang aktif. Namun yang terpenting saya ingin mengajak teman – teman semua untuk berfikir bahwa : Hal inilah yang membuat keunikan Pulau Bali, Hal tersebut pula yang membuat para Turis – Turis Asing tersebut datang ke Bali karena pada saat kita bertandang ke suatu daerah, maka sudah dapat dipastikan bahwa kita tidak hanya akan menikmati pemandangan dari daerah tersebut saja, namun prilaku masyarakat setempat, kuliner, adat istiadat, dll adalah satu paket yang pada umumnya kita nikmati dalam sebuah perjalanan wisata. Sehingga sudah saatnya kita mulai memikirkan mengenai sebuah karakteristik Pulau Bali dengan tidak mengeluarkan sebuah konsep men-generalisasi yang ada di kepala kita masing – masing, karena dengan demikian perbedaan akan terasa indah...
Salam ;
” GEG YUKE ”