Jan 21, 2009

TRADISI Vs PERILAKU ( Titik awal sebuah Karakteristik )


TRADISI Vs PERILAKU
( Titik awal sebuah Karakteristik )


Hal menarik pada saat melakukan sebuah penelitian tesis, dimana dalam penelitian tersebut menekankan pada Komunikasi Politik Politisi Etnis Bali di DPD PDI Perjuangan Provinsi Lampung. Sebagai salah asumsi kuat yang melatarbelakangi masalah dalam penelitian tersebut adalah adanya keengganan politisis etnis Bali untuk muncul atau menonjol, pertanyaan besar pun muncul pada saat itu, hal tersebut merupakan sebuah tradisi atau perilaku subjektif etnis Bali khususnya politisi laki – laki. Dalam observasi selanjutnya mengamati bukan hanya menjadi perilaku subjektif tetapi sudah menjadi perilaku kolektif, karena jika dilihat dari jumlah etnis Bali yang ada di Lampung dengan jumlah politisi yang terdengar dalam kancah politik di tingkat provinsi sangat menghawatirkan..
Fenomena selanjutnya adalah sebuat kondisi pribadi pada saat menghadapi sebuah sidang Tesis, dimana sang penguji yang bukan berasal etnis Bali bertanya apakah politisi etnis Bali tersebut bersifat individualis atau kekerabatannya tinggi, suatu pertanyaan yang tidak mungkin dijawab hanya dengan iya atau tidak bahkan dengan memilih salah satunya dari kedua alternatif tersebut pun tidak akan mampu menjawab pertanyaan dari sang penguji. Karena dalam penelitian kualitatif yang melatarbelakangi Tesis tersebut sangat tidak dianjurkan untuk men-generalisasi data yang dimiliki, jawaban yang terlontar pun tergantung dari konteks mana kita melihat, jika dalam penelitian tesis ini, ada kecendrungan bahwa politisi etnis Bali yang ada di DPD PDI Perjuangan Lampung cenderung individualis. Sang Penguji pun spontan mengernyitkan dahi, dan menekankan sekali lagi anda yakin dengan jawaban anda? saya pun menjawab iya saya yakin, itu yang saya temukan di lapangan pada saat saya melakukan penalitian secara langsung.
Namun ada sebuah pertanyaaan dari sang penguji tidak hanya untuk mengukuhkan argumennya bahkan dengan lantang dan jelas sang penguji menyatakan bahwa “ kamu tau tidak, kalau menurut SAYA laki – laki Bali itu pemalas dan perempuannya yang gigih dan pekerja keras..” Pada saat itu sempat terlintas dalam alam fikir yaitu sebuah ujian mental pada saat sidang Tesis, tetapi ternyata hal tersebut justru di sambut dukungan yang menarik dari sang peneliti, hal yang mengagetkan bagi sang penguji karena dia berfikir sang peneliti akan tersinggung dengan pernyataannnya karena sang penguji sangat mengetahui bahwa sang peneliti berasal dari etnis Bali, tetapi ternyata tidak.
Fenomena yang menarik pula pada saat berada dalam sebuah acara 3 Bulanan atau dalam kebudayaan Bali lazim disebut dengan Ngetelunin. Seorang anak laki – laki, yang pada saat itu tepat berumur 3 Bulan Nasional atau 3,5 bulan hitungan kalender Bali, mengapa berbeda karena dalam hitungan Budaya Bali, 1 bulan adalah 35 hari bukan 30 hari. Dalam kemeriahan acara tersebut, ada yang menarik untuk disikapi yaitu suatu aktifitas yang lazim dilakukan oleh para sekelompok laki – laki Bali, bahkan disaat hari raya keagaamaan pun mereka sempat melakukannya. Mengapa disebut sekelompok, karena aktifitas tersebut tidak bisa dilakukan sendiri, harus melibatkan beberapa orang. Awalnya sempat terfikirkan bahwa itu hanya sebuah realitas yang biasa dilakukan, dengan tujuan untuk meramaikan suatu acara ataupun mengisi waktu luang semata, namun semakin terlalu seringnya melihat dan mengamati hal yang sama, pada akhirnya memunculkan pertanyaan yang besar apakah JUDI lazim dilakukan dalam sebuah upacara agama ataupun upacara – uparaca sakral lainnya?? Kembali saya berfikir mengenai sebuah konsep tradisi ataukah perilaku saja…
Selanjutnya dalam diskusi yang panjang dengan seorang teman mengenai label pemalas yang diemban oleh para laki – laki etnik Bali. Hal menarik pada sang teman bercerita, bahwa ia pernah berdebat dengan seorang Turis Amerika yang mengatakan bahwa laki – laki Bali itu pemalas hanya pada saat itu ia melihat sekelompok laki – laki Bali yang sedang melalukan aktifitasnya dengan main Ceki ( berjudi ) serta Metajen ( adu ayam ). Sang Turis pun sibuk dengan predikat Malas, Bodoh, dan lain sebagainya. Pada dasarnya pertanyaan sederhana pun kembali muncul dalam benak saya, apakah benar laki – laki Bali itu pemalas?? Apakah hanya karena perempuan Bali itu lebih aktif dalam rumah tangganya sehingga dapat dikatakan laki – laki Bali itu pemalas?? Karena aktifnya para perempuan Bali dalam rumah tangganya sehingga terkesan mendominasi, apakah hal tersebut juga mampu menjadikan sebuah pendapat bahwa laki – laki Bali itu pemalas??
Hal menarik pada saat melewati malam yang panjang di sebiah Kafe dengan seorang sahabat, dan sang sahabat pun memberikan wacananya mengenai konsep pemalas yang di berikan pada laki - laki Bali, dimana ada dua persepsi yang berbeda yang muncul dari pernyataan yang sederhana tersebut, yaitu :
Pertama, generalisasi prilaku dalam cultur tertentu maupun dalam negara tertentu adalah suatu sikap yang sangat sering kita lakukan. Kita sudah memiliki persepsi yang lazim mengenai sosok laki – laki yang rajin dan bertanggung jawab terhadap keluarganya. Pada saat seorang Turis Eropa yang sedang melancong ke Bali dan dengan lantangnya mengatakan bahwa laki – laki Bali adalah pemalas, bodoh, dll. Bisa jadi si Bule membawa konsep tanggung jawab seorang laki – laki yang ada di kepalanya yang lazim ditemukan di negaranya, dia gunakan untuk menganalisa prilaku laki – laki Bali. Tidak dapat di pungkiri di Eropa seorang laki – laki umumnya lebih aktif dari seorang perempuan sehingga tampak jelas sebuah konsep rajin dan tanggung jawab yang di sodorkan oleh para Turis Eropa tersebut.
Kedua, Kharakteristik Cultur Bali. Menyikapi hal ini, saya mencoba menawarkan sebuah wacana dimana pada dasarnya dalam rumah tangga maupun dalam dunia sosialnya, secara turun – temurun tugas dan kewajiban seorang laki – laki dan seorang perempuan Bali sudah diatur jelas dalam tradisi maupun dalam kebiasaan yang mereka lakukan. Umumnya perempuan melakukan lebih banyak hal di bandingkan laki – laki Bali, sehingga terkesan perempuan Bali lebih aktif dan lebih mendominasi. Yang menarik ada sebagian laki – laki Bali pada saat ditanya mengenai hal tersebut mereka mengatakan bahwa pada umumnya laki – laki Bali melakukan 1 Hal besar dalam kesehariannya ketika tugas tersebut telah usai maka mereka memiliki hak untuk menikmati hidup mereka dengan caranya sendiri, namun berbeda dengan perempuan Bali yang melakukan 5 hal kecil dalam hidupnya sehingga terkesan perempuan tersebut lebih sibuk dari laki – laki. Hanya pertanyaan pun muncul dalam benak saya siapa yang mengkategorikan tugas dan kewajiban tersebut dalam hal besar maupun hal kecil? seperti apa kewajiban maupun tugas rumah tangga yang masuk dalam hal besar dan hal kecil tersebut?? Namun yang menarik diatas semua itu adalah kita sudah harus mulai berfikir mengenai karakteristik cultur Bali, dimana laki – laki Bali pada umumnya tipe manusia yang sangat menikmati hidupnya dengan Enjoy, mereka menikmatinya dengan cara yang unik yaitu main Ceki ( berjudi ) dan Metajen ( ngadu ayam ) suatu prilaku atau tradisi yang mungkin tidak pernah kita temukan di daerah lainnya di Indonesia. Konsep karakteristik inipun muncul dalam benak saya mengenai sebuah keseimbangan dalam hidup berumah tangga, pada saat TUHAN memberikan seorang laki – laki yang selalu Enjoy menikmati hidupnya maka IA memberikan seorang perempuan yang aktif. Namun yang terpenting saya ingin mengajak teman – teman semua untuk berfikir bahwa : Hal inilah yang membuat keunikan Pulau Bali, Hal tersebut pula yang membuat para Turis – Turis Asing tersebut datang ke Bali karena pada saat kita bertandang ke suatu daerah, maka sudah dapat dipastikan bahwa kita tidak hanya akan menikmati pemandangan dari daerah tersebut saja, namun prilaku masyarakat setempat, kuliner, adat istiadat, dll adalah satu paket yang pada umumnya kita nikmati dalam sebuah perjalanan wisata. Sehingga sudah saatnya kita mulai memikirkan mengenai sebuah karakteristik Pulau Bali dengan tidak mengeluarkan sebuah konsep men-generalisasi yang ada di kepala kita masing – masing, karena dengan demikian perbedaan akan terasa indah...


Salam ;
” GEG YUKE ”

1 comment: